Oleh: Yusron, S.Pd., M.Si. (Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri)
Stunting bisa dikatakan menjadi trending topics ataupun current issues di berbagai tingkatan, baik lokal, regional, nasional maupun global. Terlebih, setelah pagebluk Covid-19 maka perhatian terhadap isu stunting sangat meningkat. Termasuk di lingkungan Kementerian Kesehatan isu stunting menjadi concern utama. Yang lebih memprihatinkan lagi, stunting merupakan ancaman terhadap bonus demografi. Dalam konteks stunting sebagai ancaman terhadap bonus demografi itulah, tulisan ini dibuat.
Pengertian stunting
Melansir p2ptm.kemkes.go.id, pengertian stunting adalah masalah kurang gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu yang cukup lama, sehingga mengakibatkan gangguan pertumbuhan pada anak yakni tinggi badan anak lebih rendah atau pendek (kerdil) dari standar usianya.
Maka wajarlah bila secara sederhana, sering dikatakan bahwa stunting adalah kerdil. Tapi jangan berlebihan dalam memberikan asosiasi karena kerdil belum tentu stunting.
Selain itu, ada definisi lain dari stunting. Dilansir dari BBC.Com, pengertian stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi. Dari dua pengertian tersebut, silahkan diambil pengertian mana yang sesuai dengan kerangka berpikir kita masing-masing.
Stunting bisa dicegah
Kondisi tubuh anak yang pendek bukan sekedar persoalan genetika atau faktor keturunan dari orangtuanya. Bukanlah hal yang taken for granted, bukan hal yang sudah final dan tidak bisa diubah. Kita semua harus paham bahwa genetika merupakan faktor determinan Kesehatan yang paling kecil pengaruhnya bila dibandingkan dengan faktor perilaku, lingkungan (sosial, ekonomi, budaya, politik), dan pelayanan kesehatan. Singkat kata, stunting merupakan masalah yang sebenarnya bisa dicegah.
Pemerintah saat ini berfokus pada pencegahan stunting dengan harapan agar anak-anak Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara maksimal sehingga menjadi generasi emas yang mampu memajukan bangsa Indonesia.
Kita perlu menyadari bahwa sebagaimana dilansir BBC.Com bahwa menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), krisis sosial dan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi virus corona berpotensi menyebabkan hampir tujuh juta anak mengalami stunting akibat kekurangan gizi. Bahkan sebelum Covid-19 diperkirakan telah ada 47 juta balita yang mengalami penurunan berat badan (wasting) di tingkat sedang hingga parah yang sebagian besar tinggal di Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara.
Stunting ancam bonus demografi
Dilansir dari p2ptm.kemkes.go.id, puncak bonus demografi di Indonesia pada tahun 2030 terancam terbuang sia-sia. Pasalnya, hingga 2017 kasus stunting (kerdil) kembali meningkat. Dalam lima tahun terakhir, usaha penurunan kasus stunting di Indonesia cukup lambat yaitu bertahan di angka 27% hingga 29%. Menurut World Health Organization (WHO), masalah kesehatan masyarakat dapat dianggap buruk jika prevalensi stunting lebih dari 20 persen. Artinya, secara nasional masalah stunting di Indonesia tergolong kronis.
Menurut data Kementerian Kesehatan, masalah gizi balita yang paling tinggi saat ini adalah stunting. Jumlah penderitanya lebih tinggi dibandingkan kekurangan gizi, kekurusan dan kegemukan. Stunting dapat menyebabkan anak mengalami kemampuan kognitif tidak maksimal yang disertai perkembangan fisik terhambat. Kondisi rendahnya kapasitas intelektual anak dapat menurunkan daya saing dan kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan.
Selain menjadi ancaman bonus demografi, stunting juga memberikan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Kasus stunting ini berpotensi merugikan PDB Indonesia hingga Rp300 triliun per tahunnya.
Pekerjaan rumah pemerintah untuk menurunkan tingkat stunting di Indonesia masih banyak. Antara lain adalah pemerataan ekonomi agar mengurangi tingkat kemiskinan di masyarakat. Selain itu, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan lebih merata di Indonesia. Tidak lupa, pendidikan dan pemberdayaan pada wanita juga menjadi kunci penting. Lantaran, banyak kasus stunting terjadi disebabkan minimnya pemahaman dari orang tua khususnya ibu.
Ancaman stunting
Melansir BBC.Com, Pandemi virus corona telah berdampak pada penghasilan banyak keluarga. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah warga miskin di Indonesia bertambah lebih dari 2,7 juta jiwa akibat pandemi. Para ahli gizi telah memperingatkan bahwa situasi ini membuat anak-anak menjadi rentan, karena keluarga jadi kesulitan mengakses makanan bergizi. Terganggunya layanan Posyandu juga membuat deteksi masalah gizi menjadi tidak optimal. Akibatnya, diperkirakan angka stunting di Indonesia yang sempat turun dalam dua tahun terakhir akan naik lagi. Namun pemerintah Indonesia tetap berkomitmen menurunkan kasus stunting, yang dianggap berpotensi menyia-nyiakan “bonus demografi”, hingga 14% pada 2024.
Belajar dari Mozi Masagi: melawan stunting dengan motor dan daun kelor
Dilansir dari BBC.Com, dampak ekonomi dari pandemi membuat banyak keluarga kesulitan memberikan makanan bergizi kepada anak, yang dapat berujung pada gagal tumbuh atau stunting. Beberapa organisasi swadaya masyarakat turun tangan untuk membantu; salah satu dari inisiatif tersebut adalah Motor Gizi (Mozi) yang diprakarsai Dompet Dhuafa. Pagi hari sekitar pukul 09.00, Faza Fauzan menyalakan motornya. Sambil menunggu mesinnya panas, pemuda berusia 24 tahun itu memasang boks makanan ke motornya – mirip dengan yang biasa digunakan restoran untuk layanan pesan-antar.
Tak lama kemudian, ia mengendarai motornya ke rumah seorang warga di Kelurahan Ciwalen, Kabupaten Garut, tempat banyak kader Posyandu sedang memasak. Setelah selesai memasak, para kader memasukkan makanan yang telah dikemas ke dalam boks di motor Faza. Sekitar pukul 10.00, Faza berangkat untuk membagikan makanan tersebut ke keluarga-keluarga yang membutuhkan di 14 RW di Kelurahan Ciwalen. Faza adalah salah satu relawan Motor Gizi Masagi (Mozi Masagi), program pemberian makanan bergizi bagi anak balita yang diprakarsai oleh lembaga amal Dompet Dhuafa.
Kepada BBC News Indonesia, Faza mengatakan kedatangan motornya setiap hari selalu dinanti-nanti oleh masyarakat penerima manfaat. Menurutnya, kadang-kadang [anak balita] nunggu di luar rumah, bersama ibunya. Nama Masagi mengandung dua makna. Selain merupakan singkatan dari Makanan Sarat Gizi, nama itu juga merupakan kata dalam bahasa Sunda yang berarti ‘sempurna luar-dalam’. Masagi mewakili esensi dari program Motor Gizi, yaitu pemenuhan kebutuhan gizi balita agar ia tumbuh menjadi pribadi yang sehat serta mencegah gagal tumbuh atau stunting.
Koordinator Mozi Masagi, Ernawati, menjelaskan bahwa Kelurahan Ciwalen dipilih untuk proyek percobaan program ini karena pernah menjadi daerah dengan angka stunting tertinggi di Kabupaten Garut pada 2018. Angka stunting di kelurahan itu sempat turun hingga di bawah 20% pada 2020 namun, berdasarkan data yang diperoleh Posyandu setempat, ada indikasi jumlah kasus stunting akan kembali naik akibat pandemi virus corona. Ernawati mengatakan bahwa program ini pada dasarnya merupakan aksi kepedulian di masa pandemi.
Dengan adanya pandemi Covid-19 ini, terdampak ke semuanya termasuk ke ekonomi. Dan stunting akan menjadi suatu momok yang terus mengancam. Yang status gizinya tadinya baik akan berubah menjadi buruk karena dampak ekonomi yang dirasakan keluarganya. Hal ini bisa dimakslumi karena untuk makan saja susah, apalagi untuk makanan bergizi. Dimulai pada penghujung Februari, program Mozi Masagi terdiri dari dua fase dalam periode 28 hari. Dalam dua minggu pertama, anak balita di keluarga rentan mendapat makanan siap makan untuk meningkatkan status gizi mereka, yang dimasak oleh para kader kesehatan. Menu makanannya berganti setiap hari, namun ada satu bahan yang selalu ada: daun kelor.
Tanaman dengan nama latin Moringa oleifera itu dipilih karena merupakan bahan makanan lokal yang murah, terjangkau, dan bernilai gizi tinggi. Daunnya kaya akan mineral, vitamin, dan zat-zat lain yang bermanfaat. Menurut Erna, menunya itu ada sop daun kelor, nugget tahu, orak-arik telur. Pokoknya yang sangat mudah dan terjangkau. Kemudian selama dua minggu berikutnya, para orang tua diberi pelatihan cara mengolah makanan sendiri sambil didampingi oleh para kader. Ada 25 keluarga di 14 RW yang menerima manfaat Mozi Masagi. Keluarga-keluarga ini dikategorikan sebagai yang paling rentan berdasarkan pendataan terbaru di Posyandu. Riska menjadi salah satu orang tua di Kelurahan Ciwalen yang menantikan kedatangan Mozi Masagi setiap hari. Menurut Risaka, programnya bagus banget, Alhamdulillah. Menunya bervariasi, sangat bergizi.
Riska, yang suaminya bekerja sebagai sopir angkot, mengaku kadang-kadang kesulitan ngasih makan anak, sejak penghasilan suaminya terdampak oleh pandemi. Menurut ibu rumah tangga berusia 20 tahun itu, manfaat Mozi Masagi sudah bisa dia rasakan sejak minggu pertama. Menurutnya, dari satu minggu itu [berat badan] anaknya naik empat ons. Sebelumnya susah banget, sudah hampir tiga bulan enggak naik-naik. Berat badan anak yang tidak naik selama dua bulan berturut-turut adalah salah satu indikasi kekurangan gizi, yang jika berlanjut akan mengakibatkan stunting.
Ketua Perhimpunan Ahli Gizi dan Pangan Indonesia, Profesor Hardinsyah, mengatakan program seperti Mozi Masagi membantu mengintervensi supaya kondisinya tidak menjadi kronis. Menurutnya, yang seketika itu yang dijaga dulu, kalau sudah terjaga, enggak akan jadi kronis. Adapun Koordinator Mozi Masagi, Ernawati, berharap inovasi ini dapat berkembang ke seluruh pelosok Kabupaten Garut dan daerah-daerah lain di Indonesia. Ia berharap bisa terus berkembang dan menjadi kebijakan pemerintah, untuk pemberdayaan masyarakat.
Bila di Kabupaten Garut ada Mozi Masagi, di Kabupaten Kediri ada inovasi apa untuk mencegah stunting? Mungkin di antara pembaca ada yang tahu.