Oleh: Yusron, S.Pd., M.Si. (Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri)
Peringatan Hari Ibu saat ini seringkali mengalami peyorasi makna. Pada saat ini, memperingati Hari Ibu seringkali dimaknai dengan memasak, memakai kebaya, dan seterusnya. Padahal dahulu, memperingati hari ibu adalah memperingati hari pergerakan perempuan untuk mengkritisi belenggu tradisi lokal yang membelenggu keterlibatan perempuan di wilayah publik. Tahun 1917 perkumpulan Sopo Tresno terbentuk. Tahun 1917 perkumpulan Siswo Proyo Wanito terbentuk. Kedua perkumpulan tersebut merupakan ruang aktualisasi kaum perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan, ketrampilan berorganisasi, berpidato dan aktivitas pendidikan lainnya. Tokoh-tokoh perkumpulan tadi itu nanti saat Kongres Perempuan Indonesia pertama, kedua ataupun ketiga dan seterusnya mengambil peran penting dalam pelaksanaan kongres.
Melansir JawaPos.com (19/11/2023), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga mengatakan bahwa peringatan Hari Ibu di Indonesia bukanlah mother’s day, melainkan sejarah panjang dari Kongres Perempuan Indonesia pertama pada 22 Desember 1928. Saya setuju dengan pendapat itu, minimal berdasarkan argumentasi saya di alinea pertama di atas.
Dalam memperingati Hari Ibu tanggal 22 Desember, jangan sampai mengadakan kegiatan peringatan yang mempersempit makna hari ibu. Salah satu indikasi mempersempit makna adalah mendikotomi peran domestik dan peran publik perempuan. Hari ibu akhirnya dipakai untuk mengukuhkan peran domestik perempuan.[1]
Bila kita melakukan projecting back theory dengan kilas balik sejarah (historical flashback), sesungguhnya dapat diketahui bahwa sejarah asal usul Hari Ibu harus dipahami dalam konteks pergerakan perempuan Indonesia di masa sebelum kemerdekaan bukan dalam konteks merangkai bunga, memasak, memakai kebaya dan sebagainya. Jadi, Hari Ibu harus kita dudukkan dalam perspektif pergerakan perempuan Indonesia.
Melansir TEMPO.CO (21/12/2015), setiap bulan Desember, terjadi pengulangan perdebatan apa yang disebut Hari Ibu atau Hari Perempuan. Kita perlu mengecek kembali konteks sejarah ataupun makna kata ibu. Sejarah mencatat bahwa Hari Ibu lahir dari peristiwa perjuangan kaum perempuan menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib perempuan.
Sejarah Hari Ibu
Melansir TEMPO.CO (22/12/2022), peringatan Hari Ibu merupakan upaya meningkatkan kesadaran warga untuk mengenang dan menghargai perjuangan perempuan Indonesia dalam merebut kemerdekaan di zaman penjajahan di masa lampau. Peringatan ini juga sebagai momentum kebangkitan bangsa, penggalangan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Pada 22-25 Desember 1928, para pejuang perempuan di Indonesia yang berasal dari Jawa dan Sumatera mengadakan Kongres Perempuan Indonesia.[2] Kongres ini di Yogyakarta, tepatnya di Gedung Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Sebanyak 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Pulau Jawa dan Sumatera berkumpul hingga melahirkan Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Melansir Intisari-Online.com (22/12/2018), dari kongres ini, kaum perempuan sepakat untuk membuat sebuah organisasi bernama Perikatan Perkoempoelan Perempoean Indonesia (PPPI) untuk memperjuangkan cita-cita mereka. Selain itu, juga sepakat untuk mengirimkan mosi kepada pemerintah kolonial untuk menambah sekolah bagi anak perempuan. Lalu, kongres juga memutuskan pemerintah wajib memberikan surat keterangan pada waktu nikah (undang-undang perkawinan), diadakan peraturan yang memberikan tunjangan pada janda dan anak-anak pegawai negeri Indonesia, dan masih banyak lagi. Pada tahun 1929, organisasi itu berubah nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII).
Agenda utama dalam Kongres Perempuan I yaitu persatuan perempuan Nusantara; peranan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan; peranan perempuan dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; perbaikan gizi dan Kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan usia dini bagi perempuan, dan lain sebagainya.
Pada Juli 1935 dilaksanakan Kongres Perempuan Indonesia II. Dalam Kongres ini dibentuk BPBH (Badan Pemberantasan Buta Huruf) untuk menentang perlakuan tidak wajar atas buruh wanita perusahaan batik di Lasem, Rembang.
Penetapan Hari Ibu pada 22 Desember diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada 1938.
Presiden Soekarno secara resmi menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Ketetapan tersebut juga menjelaskan bahwa Hari Ibu dirayakan secara nasional hingga saat ini.
‘Pengorbanan’ ibu yang berhenti bekerja
Dikatakan “pengorbanan” ibu karena Ekonomi Indonesia bisa lebih makmur jika para ibu tidak berhenti bekerja. Melansir BBC.Com (22-12-2017)[3], Hari Ibu secara tradisional mengingatkan kita akan pengorbanan para ibu dalam membesarkan anak, dan laki-laki mendapat perlakuan istimewa. Namun sebuah lembaga riset Indonesia – Australia mengukur ‘pengorbanan’ ibu yang berhenti bekerja demi mengurus anak dan rumah tangga secara ekonomi mencapai US$123 milyar (Rp1600 trilyun).
Pada 2016 kira-kira 1,7 juta perempuan dari 11 juta perempuan usia 20-24 tahun keluar dari angkatan kerja karena alasan pernikahan dan punya anak. Hal ini berdasarkan temuan lembaga riset Australia Indonesia Partnership for Economic Governance (AIPEG).
Studi tersebut menunjukkan bahwa sekitar 40% perempuan itu berhenti bekerja pada tahun pertama setelah mereka mempunyai anak pertama mereka, menurut ekonom AIPEG Ariane Utomo.
Lembaga itu juga menemukan bahwa perempuan yang keluar dari pekerjaan karena menikah dan punya anak baru akan kembali lagi bekerja tetap di usia sekitar 40 tahun, setelah anak mereka cukup besar.
“Kerugian besar atas potensi produktivitas”
Angka partisipasi perempuan di angkatan kerja di Indonesia saat ini adalah 53%, yang artinya 1 dari 2 perempuan di usia kerja (15-64 tahun), tidak bekerja. Ini adalah kerugian besar atas potensi produktivitas Indonesia, menurut Ariane Utomo yang biasa dipanggil Ririn.
Menurut perhitungan AIPEG, apabila pada tahun 2025 angka partisipasi perempuan dinaikkan menjadi 59%, maka PDB Indonesia akan meningkat sebesar $123 milyar menjadi lebih dari $3,4 trilyun (Rp45 ribu trilyun). Angka ini sedikit di bawah PDB Rusia saat ini.
PDB per kapita Indonesia juga akan meningkat sebesar $432 menjadi lebih dari $4 ribu. Ini setara dengan PDB per kapita Paraguay saat ini. Meningkatkan angka partisipasi dari 53% menjadi 59% berarti ada 7,7 juta pekerja perempuan yang bertahan di pekerjaannya.
Ibu bekerja menguntungkan anak perempuannya
Hasil kajian Harvard University sebagaimana dilansir BBC News Indonesia (25/6/2015)[4] menunjukkan bahwa anak perempuan dewasa dari ibu yang bekerja cenderung mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, sementara anak laki-laki dewasa mereka cenderung lebih banyak membantu pekerjaan di rumah.
Mereka menemukan anak perempuan ibu bekerja cenderung memiliki karier yang lebih baik, gaji lebih tinggi dan hubungan yang lebih setara dibandingkan anak perempuan ibu rumah tangga.
Pengaruh ini terutama terlihat di Inggris dan Amerika Serikat, kata kajian yang didasarkan data dari 24 negara, demikian menurut wartawan BBC Hannah Richardson. Para ibu seharusnya tidak harus merasa pekerjaan membuat mereka “meninggalkan” anak, tambah penelitian yang dipimpin Kathleen McGinn tersebut. Menurut McGinn, Ibu bekerja sering kali memasukkan pesan sosial tentang masalah yang akan terjadi kepada anak-anak mereka, dan ayah yang memilih untuk menekankan pemeliharaan. Pandangan ini bertentangan dengan pesan sosial yang mengisyaratkan ketidakmampuan mereka sebagai pencari nafkah utama. Berdasarkan data International Social Survey Programme dari tahun 2002 dan 2012, mereka menyimpulkan anak perempuan dari ibu bekerja dibayar 4% lebih tinggi dari pada yang lainnya.
Pertukaran peran domestik dan publik
Ibu merupakan sosok yang mulia. Pengorbanan ibu tidak mempertimbangkan faktor ekonomi; pertimbangan break even point. Pengorbanan ibu betul-betul tulus. Peran ibu nyaris full time 24 jam, setiap saat dan setiap waktu. Setiap detak jantung. Ibu merupakan sosok manusia istimewa.
Narasi peran ibu adalah peran domestik seiring berjalannya waktu sudah bergeser. Dilansir dari suaramuhammadiyah.id, perempuan masa kini adalah symbol kekuatan dan ketahanan. Mereka menjalankan fungsi sebagai pengasuh dan pendidik pertama bagi anak-anak mereka, membentuk fondasi karakter dan nilai-nilai yang akan dibawa seumur hidup.
Melansir REPUBLIKA.CO.ID, sosok perempuan dinilai memiliki peran penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat. Perempuan tidak boleh dipandang hanya sebagai ibu rumah tangga, melainkan memiliki peran penting dalam mencetak generasi bangsa. Seorang ibu memiliki kuasa otoritatif dalam membentuk karakter dan konstruksi berpikir sang anak. Selain itu, ibu memiliki emosional kuat dengan anak-anak karena dia dilahirkan dari rahimnya.
Riset Danareksa menyatakan peran perempuan dalam perekonomian terus meningkat dalam tiga tahun terakhir. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan tingkat partisipasi angkatan kerja. Ini membuktikan bahwa perempuan itu multitasking dalam menjalankan perannya. Perempuan dengan fleksibelnya memainkan peran yang multitasking tersebut.
Marilah kita merenungkan lirik lagu Bang Haji Rhoma Irama yang berjudul “Keramat”, berikut:
Keramat
Hai manusia, hormati ibumu
Yang melahirkan
dan membesarkanmu
Darah dagingmu dari air susunya
Jiwa ragamu dari kasih-sayangnya
Dialah manusia satu-satunya
Yang menyayangimu tanpa ada batasnya
Doa ibumu dikabulkan Tuhan
Dan kutukannya jadi kenyataan
Ridlo Ilahi karena ridlonya
Murka Ilahi karena murkanya
Bila kau sayang pada kasihmu
Lebih sayanglah pada ibumu
Bila kau patuh pada rajamu
Lebih patuhlah pada ibumu
Bukannya gunung tempat kau meminta
Bukan lautan tempat kamu memuja
Bukan pula dukun tempat kau menghiba
Bukan kuburan tempat memohon doa
Tiada keramat yang ampuh di dunia
Selain dari doa ibumu juga
Selamat Hari Ibu! Selamat memperingati hari pergerakan perempuan Indonesia menuju perempuan yang berkemajuan.
[1] https://muhammadiyah.or.id/jangan-persempit-makna-hari-ibu/. Diakses pada Rabu 29 November 2023 jam 04.53 WIB.
[2] Melansir Intisari-Online.com (22/12/2018), kongres perempuan itu adalah buah dari semangat perjuangan yang muncul setelah peristiwa Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Peristiwa itu kemudian memecut kaum perempuan untuk sama-sama memperjuangkan kemerdekaan.
[3] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42428508. Diakses pada Selasa 28 November 2023 jam 14.09 WIB.
[4] https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2015/06/150625_majalah_ibu_bekerja. Diakses pada Rabu 29 November 2023 jam 10.46 WIB.