DINAS KESEHATAN KABUPATEN KEDIRI

HARI DISABILITAS INTERNASIONAL: KISAH DWI ARIYANI

Oleh: Yusron, S.Pd., M.Si. (Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri)

Kisah Nyata: Mengusir Penyandang Disabilitas di Bandara Soekarno-Hatta, Etihad Airways Dihukum Rp500 Juta.

Melansir BBC News Indonesia (4/12/2017)[i], Etihad Airways dijatuhi hukuman membayar ganti rugi imateriil sebesar Rp500 juta kepada Dwi Ariyani, penyandang disabilitas asal Karanganyar, Jawa Tengah, yang gagal terbang dari Bandara Soekarno-Hatta, Banten menuju Jenewa, Swiss. Pada April 2016 ia dipaksa turun dari kabin oleh kru maskapai penerbangan tersebut.

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dalam keputusan Senin (4/12/2017), mengabulkan gugatan perdata yang diajukan Dwi. Etihad juga diwajibkan membayar ganti rugi materiil sebesar Rp37 juta dan menerbitkan permintaan maaf di satu media cetak nasional. Majelis hakim dalam putusannya menyatakan bahwa yang dilakukan tergugat adalah perbuatan diskriminasi dan bertentangan dengan UU 19/2011 tentang hak-hak penyandang disabilitas.

Dwi Ariyani menyebut kemenangan gugatannya itu dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus diskriminasi yang dialami para penyandang disabilitas lainnya, terutama dalam konteks pelayanan transportasi. Dwi menilai, putusan hakim tersebut merupakan kado terindah pada peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh 3 Desember. Dwi berharap kasus seperti ini tidak akan pernah terulang lagi.

Heppy Sebayang, kuasa hukum Dwi yang juga penyandang disabilitas, menganggap putusan itu menjadi momentum bagi kelompoknya yang selama ini kerap mengalami diskriminasi. Menurut Dwi ini menjadi penyemangat bagi kelompok disabilitas, jika menjadi korban jangan diam, tapi berteriaklah. Anda punya jaminan, hak anda dilindungi hukum.

‘Tak boleh tolak penyandang disabilitas’

Dalam pertimbangan, majelis hakim menyatakan maskapai penerbangan dilarang menolak penyandang disabilitas menjadi penumpang. Pengecualian terhadap aturan itu adalah apabila penumpang kategori itu membahayakan penumpang lain atau penerbangan karena membawa bom atau mabuk. Hakim mengatakan, penyandang disabilitas dapat terbang tanpa pendampingan keluarga atau kolega. Jika terjadi keadaan darurat, keselamatan penumpang itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab maskapai.

Penyandang disabilitas, kata hakim, juga berhak mendapatkan fasilitas khusus dari maskapai penerbangan selama berada di kabin, berupa sarana untuk naik atau turun pesawat serta kru khusus yang dapat menjelaskan petunjuk keselamatan. “Fasilitas khusus itu tidak dipungut biaya tambahan,” kata hakim.

Penurunan paksa awak kabin Etihad Airways terhadap Dwi Ariyani terjadi awal April 2016. Ketika itu Dwi memegang tiket dan telah berada di pesawat saat hendak terbang ke Jenewa dari Bandara Soekarno-Hatta. Dwi berangkat ke Jenewa setelah diundang menjadi peserta Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebelum dipaksa turun dari pesawat, kru Etihad bertanya apakah Dwi mampu mengevakuasi diri sendiri jika terjadi keadaan darurat dalam penerbangan.

Seorang airport operation officer juga menghampirinya, menanyakan kemampuannya berjalan. Dwi menjawab, ia dapat berjalan dengan berpegangan. Mendengar jawaban itu, petugas kemudian meminta Dwi turun dari kabin. Alasannya, Dwi terbang tanpa pendamping dan diklaim tidak sesuai dengan aturan penerbangan bagi pengguna kursi roda.

Berselang beberapa hari usai peristiwa itu, Etihad meminta maaf kepada Dwi. Maskapai itu mengklaim telah menggelar investigasi internal terhadap pegawai mereka yang memaksa Dwi turun. Manajemen Etihad mengatakan, sebelumnya mereka telah melayani penumpang berkursi roda ke beragam tujuan penerbangan. Kejadian yang menimpa Dwi, kata mereka, adalah insiden pertama di maskapai mereka.

Putusan Dwi muncul sehari setelah peringatan Hari Disabilitas Internasional yang jatuh tanggal 3 Desember. Melalui akun Twitter miliknya, Presiden Joko Widodo menyebut pemerintah berupaya memberikan akses luas pada masyarakat berkebutuhan khusus. Tujuannya, menurut Jokowi, untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam kehidupan bermasyarakat. “Indonesia berkomitmen penuh dalam konvensi PBB tentang hak penyandang disabilitas yang telah menjadi UU No. 19/2011,” demikian penggalan cuitan Jokowi.

Merujuk Sensus Ekonomi Nasional yang digelar Badan Pusat Statistik tahun 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia mencapai enam juta orang. Sementara pada Agustus 2017, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyebut angka 11 juta jiwa. PBB mengatakan jumlah penyandang disabilitas di suatu negara sebesar 15% dari total penduduk.

Hikmah yang bisa kita ambil

Dari kisah nyata di atas, kita bisa mengambil hikmah bahwa kita tidak boleh melakukan diskriminasi kepada siapapun. Baik penyandang disabilitas maupun bukan penyandang disabilitas. Di bidang hukum, penyandang disabilitas mempunyai kedudukan hukum sama dengan yang bukan penyandang disabilitas. Kisah nyata di atas sudah membuktikannya. Di bidang kesehatan penyandang disabilitas juga punya hak yang sama dengan yang bukan penyandang disabilitas. Hal ini ditegaskan dalam UU 17/2023 tentang Kesehatan Pasal 53 ayat (3) yang menyebutkan bahwa “Setiap penyandang disabilitas berhak memperoleh  akses atas fasilitas pelayanan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang sesuai dengan standar, aman, bermutu, dan terjangkau.” Selain itu, perlu kita pahami bersama bahwa dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan kita harus berpegang pada asas penyelenggaraan kesehatan sebagaimana diamanatkan UU 17/2023 Pasal 2 huruf j yaitu asas nondiskriminatif. Maksud asas nondiskriminatif adalah pembangunan kesehatan tidak membedakan perlakuan terhadap kelompok agama, gender, ras, etnis, suku bangsa, warna kulit, kondisi fisik, status sosial, dan antargolongan. Selamat Hari Disabilitas Internasional.


[i] Lihat, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-42220263. Diakses pada Selasa 28 November 2023 jam 7.47 WIB.

Scroll to Top