Oleh: Yusron, S.Pd., M.Si. (Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri)
Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Myth of the Lazy Natives menjelaskan bagaimana penjajah Eropa menjarah dan mengeruk kekayaan alam, termasuk pertanian, perkebunan dan pertambangan negara-negara di Asia Tenggara. Selain itu, juga menghancurkan struktur sosial masyarakat. Lalu menerapkan politik labelling bahwa orang pribumi Filipina, Malaysia dan Indonesia sebagai orang-orang pemalas (Djuraid, “Asean dan Pribumi Malas”, Jawa Pos, 14 Mei 2023:2). Jadi, rakyatnya dijajah, kekayaan alamnya dijarah, dan struktur sosial masyarakat yang merupakan kearifan lokal (local wisdom) masing-masing masyarakat dihancurkan.
Etimologi Etos Kerja
Dari hasil penelitian Alatas itulah diskursus pemalas dan etos kerja menjadi public discourse. Istilah etos kerja sangat populer dalam pergaulan hidup sehari-hari. Ada peringatan dari majalah Reader’s Digest (salah satu majalah beroplah terbesar di dunia) yang perlu kita cermati. Reader’s Digest menulis bahwa Indonesia tidak akan dapat menjadi negara maju dalam waktu dekat karena “Indonesia has lousy work ethic and serius corruption” [Indonesia mempunyai etika kerja yang cacat dan korupsi yang gawat] (Madjid,2019:949).
Kata etos berasal dari Yunani: ethos yang berarti watak atau karakter. Secara lengkap, makna etos adalah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari perkataan etos terambil pula perkataan “etika” dan “etis” yang merujuk kepada makna akhlaq atau bersifat akhlaqi, yaitu kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok, termasuk suatu bangsa. Etos berarti juga merupakan jiwa khas suatu kelompok manusia, yang dari jiwa khas itu berkembang pandangan bangsa tersebut mengenai yang baik dan buruk, yakni etikanya (Madjid,2019:950).
Little Dragons
Dalam perspektif ini, maka negara-negara Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Singapura seringkali diberi predikat sebagai little dragons (ular-ular kecil). Maksudnya adalah, negara-negara tersebut merupakan negara-negara Konfusianis (penganut ajaran Kong Hucu dengan ular naga sebagai binatang mitologis dalam sistem kepercayaannya). Sebutan sebagai little dragons menunjukkan anggapan bahwa negara-negara tersebut menjadi maju berkat ajaran atau etika Kong Hucu. Untuk kemajuan negara-negara tersebut, penghargaan dan pujian diberikan kepada ajaran-ajaran Kong Hucu, dengan pandangan yang hampir memastikan bahwa negara-negara itu maju karena ajaran filsuf Cina tersebut.
Kesimpulan singkat yang bisa kita petik adalah etika Kong Hu Cu relevan, bahkan mendukung, bagi upaya modernisasi dan pembangunan bangsa industrial. Cara pandang serupa itu, tiada lain merupakan penerapan Weberisme terhadap fenomena di luar Eropa Barat (Madjid,2019:951). Itulah sekilas mengenai etos kerja. Dari pengertian tersebut, kita bisa mengaplikasikannya dalam konteks apapun.
Etos Dominan
Dalam pandangan Islam, manusia beriman harus bekerja dan aktif, sesuai petunjuk lain: “Katakan (hai Muhammad): ‘Setiap orang bekerja sesuai dengan kecenderungannya (bakatnya)…,’” (Q 17:84).
Juga firman-Nya, “Dan jika engkau bebas (berwaktu luang), maka bekerja keraslah, dan kepada Tuhanmu berusahalah mendekat,” (Q 94:7-8). Karena perintah agama untuk aktif bekerja itu, maka Robert Bellah mengatakan, dengan menggunakan suatu istilah dalam sosiologi modern, bahwa etos yang dominan dalam Islam ialah menggarap kehidupan dunia ini secara giat, dengan mengarahkannya kepada yang lebih baik (ishlāh). Demikian kata Robert Bellah (Madjid, 2019 , 963): “The dominant ethos of this community was this-wordly, activist, social and political….” (Etos yang dominan pada komunitas [umat] ini ialah [giat] di dunia ini, aktivis, bersifat sosial dan politis…).
Nilai yang amat fundamental dalam sistem ajaran Islam (Madjid, 2019: 958), yaitu bahwa kerja, amal, atau praktis (praxis) adalah bentuk keberadaan (mode of existence) manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi eksistensi kemanusiaan. Jadi jika filsuf Perancis, René Descartes, terkenal dengan ucapannya, “Aku berpikir, maka aku ada” (Cogito ergo sum — Latin; Je pense, donc je suis — Prancis) — karena berpikir baginya adalah bentuk wujud manusia — maka sesungguhnya, dalam ajaran Islam, ungkapan itu seharusnya berbunyi “Aku berbuat, maka aku ada”. Pandangan ini sentral sekali dalam sistem ajaran Kitab Suci. Ditegaskan bahwa manusia tidak akan mendapatkan sesuatu apa pun kecuali yang ia usahakan sendiri (QS. 53: 36-42).
Penerapan Etos Kerja
Itulah yang dimaksudkan dengan ungkapan bahwa kerja adalah bentuk eksistensi manusia. Yaitu bahwa harga manusia — yakni apa yang dimilikinya — tidak lain ialah amal perbuatan atau kerjanya itu. Manusia ada karena amalnya, dan dengan amalnya yang baik itu manusia mampu mencapai harkat yang
setinggi-tingginya (Madjid, 2019:959), yaitu bertemu Tuhan dengan penuh keridaan. “Barang siapa benar-benar mengharap bertemu Tuhannya, maka hendaknya ia berbuat baik, dan hendaknya dalam beribadat kepada Tuhannya itu ia tidak melakukan syirik,” (QS. 18:110) (yakni mengalihkan tujuan pekerjaan selain kepada Tuhan, Sang Mahabenar, al-Haqq, yang menjadi sumber nilai intrinsik pekerjaan manusia). Jadi, dapat kita simpulkan bahwa kita beribadat sebagaimana diwajibkan, namun kita juga harus bekerja mencari rezeki dari kemurahan Tuhan. Bersama dengan itu, kita harus senantiasa ingat kepada-Nya, yakni memenuhi semua ketentuan etis dan akhlak dalam bekerja itu, dengan menginsafi pengawasan dan perhitungan Allah terhadap setiap bentuk kerja kita. Itulah etos kerja yang harus kita budayakan dan wujudkan dalam kenyataan hidup detik demi detik.[*]